Analisis Mendalam Dampak Perang Dagang AS-China Terhadap Nilai Tukar Mata Uang dan Sektor Perdagangan
Dampak Perang dagang AS-China yang kembali memanas pada 2025 telah menciptakan gelombang ketidakpastian global. Kebijakan tarif tinggi yang diusung Presiden Donald Trump, termasuk kenaikan tarif hingga 145% untuk produk China, tidak hanya mengganggu stabilitas ekonomi kedua negara tetapi juga berdampak signifikan pada nilai tukar mata uang global dan sektor perdagangan internasional 10. Artikel ini akan mengulas secara komprehensif dampak konflik ini terhadap fluktuasi nilai tukar, dinamika perdagangan global, serta strategi mitigasi bagi negara berkembang seperti Indonesia.
- Dampak Perang Dagang AS-China terhadap Nilai Tukar Mata Uang
- Penguatan Dolar AS sebagai Safe Haven
Kebijakan tarif AS memicu peningkatan permintaan terhadap dolar AS sebagai aset safe haven. Indeks Dolar AS (DXY) naik 4% dalam sebulan terakhir, didorong oleh aliran modal dari pasar negara berkembang ke instrumen finansial AS yang dianggap lebih stabil 5. Faktor pendorong lainnya:
- Kenaikan Suku Bunga The Fed: Respons terhadap inflasi akibat kenaikan harga impor, diprediksi The Fed akan menunda pemotongan suku bunga hingga 2026 15.
- Likuiditas Global: Investor global mengurangi eksposur di pasar emerging markets, beralih ke obligasi pemerintah AS yang dianggap rendah risiko 11.
- Depresiasi Yuan China (CNY) dan Strategi PBOC
Yuan melemah 8% terhadap dolar AS sejak Januari 2025. Bank Sentral China (PBOC) secara tak langsung mengizinkan depresiasi untuk menjaga daya saing ekspor, meski berisiko memicu tuduhan “manipulasi mata uang” dari AS 38. Analis CSIS memprediksi CNY akan stabil di kisaran 7.8–8.1 per USD sepanjang 2025, tergantung skala stimulus ekonomi China 4.
- Tekanan pada Mata Uang Negara Berkembang
- Rupiah Indonesia (IDR): Terdepresiasi 11% sejak April 2025, mencapai level Rp16.860/USD akibat arus modal keluar dan penurunan ekspor 515.
- Lira Turki dan Peso Argentina: Melemah 15% dan 22%, mencerminkan kerentanan ekonomi dengan defisit transaksi berjalan tinggi 11.
- Respons Bank Sentral: Bank Indonesia (BI) melakukan intervensi agresif di pasar valas dan pembelian SBN untuk menjaga likuiditas, namun efektivitasnya terbatas oleh tekanan eksternal 15.
- Dampak terhadap Sektor Perdagangan Global
- Disrupsi Rantai Pasok dan Relokasi Industri
Perang dagang memicu perombakan struktur rantai pasok global:
- Pergeseran ke ASEAN: Vietnam, Malaysia, dan Indonesia menjadi tujuan relokasi pabrik dari China. Vietnam menarik 19 dari 33 perusahaan yang merelokasi basis produksi pada 2024, sementara Indonesia hanya 7 perusahaan 110.
- Biaya Logistik: Biaya logistik Indonesia (23% PDB) masih lebih tinggi dibanding Vietnam (15%), menghambat daya saing 1.
- Kontraksi Ekspor-Impor AS-China
- Ekspor China ke AS: Turun 90% akibat tarif prohibitif, dari 440miliar(2024)menjadi440miliar(2024)menjadi2 miliar (2025) 78.
- Ekspor AS ke China: Komoditas seperti kedelai dan LNG terpukul, turun 45% secara year-on-year 8.
- Penyelundupan via Negara Ketiga: 23% produk China masuk AS melalui Meksiko dan Vietnam, memicu tekanan untuk aturan “country of origin” yang lebih ketat 7.
- Sektor Terdampak di Indonesia
- Tekstil dan Alas Kaki: Ekspor ke AS terancam tarif resiprokal 32%, berpotensi kehilangan pasar senilai $18.6 miliar.
- Batu Bara dan Nikel: Harga komoditas turun 30% akibat penurunan permintaan China.
- Elektronik: Ekspor ke AS naik 23.5% (2024), tetapi rantai pasok 70% bergantung pada komponen China, rentan gangguan.
Baca Juga : Gejolak Pasar Bitcoin di Bulan Mei 2025
Analisis Pakar dan Strategi Mitigasi
- Perspektif Ekonom Global
- Ilaria Mazzocco (CSIS): “Perang dagang memperlambat transisi energi China. Stimulus ekonomi berbasis industri konvensional berisiko meningkatkan emisi karbon, bertentangan dengan target COP30” 4.
- S&P Global: “Tidak ada pemenang dalam perang dagang. AS dan China diproyeksikan kehilangan PDB masing-masing 2% dan 1.5% pada 2025” 11.
- Rekomendasi untuk Indonesia115
- Diversifikasi Pasar Ekspor: Perluas ke Afrika dan Timur Tengah, kurangi ketergantungan pada AS-China.
- Reformasi Regulasi: Percepat perizinan investasi (<7 hari) dan berikan insentif pajak hingga 300% untuk R&D.
- Penguatan Pertahanan Maritim: Alokasi anggaran pertahanan maritim naik 21% (2025) untuk mengamankan Natuna dari spillover geopolitik 1.
- Kebijakan Bank Indonesia
- Intervensi Valas: BI menyediakan pasokan dolar AS di pasar spot dan NDF untuk stabilisasi Rupiah 15.
- Pembelian SBN: Menjaga likuiditas pasar keuangan domestik di tengah arus modal keluar.
- Penurunan BI Rate: Dari 6.25% ke 5.75% untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di kisaran 4.7–5.5% 15.
- Proyeksi dan Skenario 2025–2030
- Skenario Perang Dagang Berkelanjutan
- AS-China: Tarif bilateral bisa mencapai 125–150%, memicu resesi global dengan kontraksi perdagangan hingga 8.5% 711.
- Nilai Tukar: Dolar AS berpotensi menguat ke 110 DXY, sementara Rupiah mungkin melemah ke Rp17.500/USD jika tekanan inflasi global berlanjut 515.
- Peluang di Tengah Krisis
- Industri Hijau: Permintaan global untuk panel surya dan baterai lithium meningkat 25%, peluang bagi Indonesia melalui hilirisasi nikel 49.
- Digitalisasi UMKM: Transformasi digital bisa meningkatkan partisipasi UMKM dalam ekspor hingga 40% 1.
- Kesimpulan: Navigasi di Tengah Turbulensi Global
Perang dagang AS-China bukan sekadar konflik tarif, tetapi pertarungan hegemonik yang mengubah peta ekonomi dunia. Bagi Indonesia, kunci bertahan terletak pada:
- Diversifikasi pasar dan sumber bahan baku.
- Reformasi struktural untuk menarik investasi high-tech.
- Sinergi kebijakan fiskal-moneter yang responsif.
Dengan langkah strategis, Indonesia bisa mengonversi ancaman menjadi peluang, meski jalan menuju ketahanan ekonomi masih panjang dan berliku.
FAQ (Pertanyaan Umum)
Q1: Bagaimana BI menstabilkan Rupiah selama perang dagang?
A1: BI menggunakan tiga instrumen: intervensi pasar valas, pembelian SBN, dan penurunan BI Rate 15.
Q2: Sektor apa yang paling rentan di Indonesia?
A2: Tekstil, alas kaki, dan elektronik akibat ketergantungan bahan baku impor dan tarif AS 110.
Q3: Apakah China akan mengalami resesi?
A3: Proyeksi S&P Global menunjukkan pertumbuhan China melambat ke 3.8% (2025), tetapi stimulus infrastruktur bisa mencegah resesi 11.
Q4: Bagaimana dampak jangka panjang pada rantai pasok global?
A4: Rantai pasok akan terfragmentasi, dengan produksi “nearshoring” ke Meksiko dan “friendshoring” ke negara sekutu AS.